Popular Posts

Sunday, 7 August 2011

FATIMAH AZ-ZAHRA AS,PENGHULU WANITA SEMESTA



Mukadimah

Dahulu kala, masyarakat memandang perempuan bagaikan hewan atau bagian dari kekayaan yang dimiliki oleh seorang laki-laki. Demikian pula masyarakat Arab pada masa Jahiliyah. Mereka senantiasa memandang wanita sebagai makhluk yang hina. Bahkan, sebagian di antara mereka ada yang menguburkan anak perempuan mereka hidup-hidup.
Ketika fajar mentari Islam terbit, Islam memberikan hak kepada kaum hawa dan telah menentukan pula batas-batasnya, seperti hak sebagai ibu, hak sebagai istri, dan hak sebagai pemudi.
Tentu kita semua sering mendengar hadis Nabi saw yang menyatakan, “Surga itu terletak di bawah kaki ibu.”
Di lain kesempatan, beliau bersabda, “Kerelaan Allah terletak pada kerelaan orang tua.” (Dan perempuan termasuk salah satu dari orang tua).
Islam telah memberikan batasan kemanusiaan kepada wanita dan memberikan aturanundang-undang yang menjamin perlindungan, penjagaan terhadap kemuliaan wanita dan kehormatannya.
Sebagai contoh yang jelas ialah hijab atau jilbab. Jilbab bukanlah penjara bagi wanita, tapi ia merupakan kebanggaan baginya, sebagaimana kita selalu melihat permata yang tersimpan rapi di dalam kotaknya, atau buah-buahan yang tersembunyi di balik kulitnya.
Sedangkan bagi wanita muslimah, Allah SWT telah memberikan aturan yang dapat melindunginya dan menjaga diriya, yaitu jilbab. Bahkan tidak hanya sekedar pelindung, jilbab dapat menambah ketenangan dan keindahan pada diri wanita tersebut.
Wanita dalam pandangan Islam berbeda secara mencolok dari apa yang terjadi di Barat. Dunia Barat memandang wanita laksana benda atau materi yang layak untuk diiklankan, diperdagangkan, dan bisa diambil keuntungan materinya, dengan dalih memelihara etika dan kemuliaan wanita sebagai manusia.
Pandangan ini benar-benar telah membuat nilai wanita terpuruk dan terpisah dari naluri serta nilai-nilai kemanusiaan. Kita juga menyaksikan keretakan keluarga, perceraian yang terjadi di dalam masyarakat Barat telah sedemikian mengkuatirkan.
Dalam pandangan dunia Barat, wanita telah berubah menjadi seonggok barang yang tidak berharga lagi, baik dalam dunia perfilman, iklan, promosi, ataupun dalam dunia kontes kecantikan.
Teman-teman, marilah kita sejenak menengok sosok teladan kaum wanita dalam Islam yang terwujud dalam kehidupan putri Rasulullah tercinta.
Dialah Siti Fatimah Az-Zahra as.
Putri tersayang Nabi Muhammad saw.
Istri tercinta Imam Ali as.
Bunda termulia Hasan, Husain, dan Zainab as.

Hari Lahir

Fatimah as dilahirkan pada tahun ke-5 setelah Muhammad saw diutus menjadi Nabi, bertepatan dengan tiga tahun setelah peristiwa Isra’ dan Mikraj beliau.
Sebelumnya, Jibril as telah memberi kabar gembira kepada Rasulullah akan kelahiran Fatimah. Ia lahir pada hari Jumat, 20 Jumadil Akhir, di kota suci Makkah.

Fatimah di Rumah Wahyu

Fatimah as hidup dan tumbuh besar di haribaan wahyu Allah dan kenabian Muhammad saw. Beliau dibesarkan di dalam rumah yang penuh dengan kalimat-kalimat kudus Allah SWT dan ayat-ayat suci Al-Qur’an.
Acapkali Rasulullah saw melihat Fatimah masuk ke dalam rumahnya, beliau langsung menyambut dan berdiri, kemudian mencium kepala dan tangannya.
Pada suatu hari, ‘Aisyah bertanya kepada Rasulullah saw tentang sebab kecintaan beliau yang sedemikian besar kepada Fatimah as.
Beliau menegaskan, “Wahai ‘Aisyah, jika engkau tahu apa yang aku ketahui tentang Fatimah, niscaya engkau akan mencintainya sebagaimana aku mencintainya. Fatimah adalah darah dagingku. Ia tumpah darahku. Barang siapa yang membencinya, maka ia telah membenciku, dan barang siapa membahagiakannya, maka ia telah membahagiakanku.”
Kaum muslimin telah mendengar sabda Rasulullah yang menyatakan, bahwa sesungguhnya Fatimah diberi nama Fatimah karena dengan nama itu Allah SWT telah melindungi setiap pecintanya dari azab neraka.
Fatimah Az-Zahra’ as menyerupai ayahnya Muhammad saw dari sisi rupa dan akhlaknya.
Ummu Salamah ra, istri Rasulullah, menyatakan bahwa Fatimah adalah orang yang paling mirip dengan Rasulullah. Demikian juga ‘Aisyah. Ia pernah menyatakan bahwa Fatimah adalah orang yang paling mirip dengan Rasulullah dalam ucapan dan pikirannya.
Fatimah as mencintai ayahandanya melebihi cintanya kepada siapa pun.
Setelah ibunda kinasihnya, Khadijah as wafat, beliaulah yang merawat ayahnya ketika masih berusia enam tahun. Beliau senantiasa berusaha untuk menggantikan peranan ibundanya bagi ayahnya itu.
Pada usianya yang masih belia itu, Fatimah menyertai ayahnya dalam berbagai cobaan dan ujian yang dilancarkan oleh orang-orang musyrikin Makkah terhadapnya. Dialah yang membalut luka-luka sang ayah, dan yang membersihkan kotoran-kotoran yang dilemparkan oleh orang-orang Quraisy ke arah ayahanda tercinta.
Fatimah senantiasa mengajak bicara sang ayah dengan kata-kata dan obrolan yang dapat menggembirakan dan menyenangkan hatinya. Untuk itu, Rasulullah saw memanggilnya dengan julukan Ummu Abiha, yaitu ibu bagi ayahnya, karena kasih sayangnya yang sedemikian tercurah kepada ayahandanya.

Pernikahan Fatimah as

Setelah Fatimah as mencapai usia dewasa dan tiba pula saatnya untuk beranjak pindah ke rumah suaminya (menikah), banyak dari sahabat-sahabat yang berupaya meminangnya. Di antara mereka adalah Abu Bakar dan Umar. Rasulullah saw menolak semua pinangan mereka. Kepada mereka beliau mengatakan, “Saya menunggu keputusan wahyu dalam urusannya (Fatimah as).”
Kemudian, Jibril as datang untuk mengkabarkan kepada Rasulullah saw, bahwa Allah telah menikahkan Fatimah dengan Ali bin Ali Thalib as. Tak lama setelah itu, Ali as datang menghadap Rasulullah dengan perasaan malu menyelimuti wajahnya untuk meminang Fatimah as. Sang ayah pun menghampiri putri tercintanya untuk meminta pendapatnya seraya menyatakan, “Wahai Fatimah, Ali bin Abi Thalib adalah orang yang telah kau kenali kekerabatan, keutamaan, dan keimanannya. Sesungguhnya aku telah memohonkan pada Tuhanku agar menjodohkan engkau dengan sebaik-baik mahkluk-Nya dan seorang pecinta sejati-Nya. Ia telah datang menyampaikan pinangannya atasmu, bagaimana pendapatmu atas pinangan ini?”
Fatimah as diam, lalu Rasulullah pun mengangkat suaranya seraya bertakbir, “Allahu Akbar! Diamnya adalah tanda kerelaannya.”

Acara Pernikahan

Rasulullah saw kembali menemui Ali as sambil mengangkat tangan sang menantu seraya berkata, “Bangunlah! ‘Bismillah, bi barakatillah, masya’ Allah la quwwata illa billah, tawakkaltu ‘alallah.”
Kemudian, Nabi saw menuntun Ali dan mendudukkannya di samping Fatimah. Beliau berdoa, “Ya Allah, sesungguhnya keduanya adalah makhluk-Mu yang paling aku cintai, maka cintailah keduanya, berkahilah keturunannya, dan peliharalah keduanya. Sesungguhnya aku menjaga mereka berdua dan keturunannya dari setan yang terkutuk.”
Rasulullah mencium keduanya sebagai tanda ungkapan selamat berbahagia. Kepada Ali, beliau berkata, “Wahai Ali, sebaik-baik istri adalah istrimu.”
Dan kepada Fatimah, beliau menyatakan, “Wahai Fatimah, sebaik-baik suami adalah suamimu”.
Di tengah-tengah keramaian dan kerumunan wanita yang berasal dari kaum Anshar, Muhajirin, dan Bani Hasyim, telah lahir sesuci-suci dan seutama-utamanya keluarga dalam sejarah Islam yang kelak menjadi benih bagi Ahlulbait Nabi yang telah Allah bersihkan kotoran jiwa dari mereka dan telah sucikan mereka dengan sesuci-sucinya.
Acara pernikahan kudus itu berlangsung dengan kesederhanaan. Saat itu, Ali tidak memiliki sesuatu yang bisa diberikan sebagai mahar kepada sang istri selain pedang dan perisainya. Untuk menutupi keperluan mahar itu, ia bermaksud menjual pedangnya. Tetapi Rasulullah saw mencegahnya, karena Islam memerlukan pedang itu, dan setuju apabila Ali menjual perisainya.
Setelah menjual perisai, Ali menyerahkan uangnya kepada Rasulullah saw. Dengan uang tersebut beliau menyuruh Ali untuk membeli minyak wangi dan perabot rumah tangga yang sederhana guna memenuhi kebutuhan keluarga yang baru ini.
Kehidupan mereka sangat bersahaja. Rumah mereka hanya memiliki satu kamar, letaknya di samping masjid Nabi saw.
Hanya Allah SWT saja yang mengetahui kecintaan yang terjalin di antara dua hati, Ali dan Fatimah. Kecintaan mereka hanya tertumpahkan demi Allah dan di atas jalan-Nya.
Fatimah as senantiasa mendukung perjuangan Ali as dan pembelaannya terhadap Islam sebagai risalah ayahnya yang agung nan mulia. Dan suaminya senantiasa berada di barisan utama dan terdepan dalam setiap peperangan. Dialah yang membawa panji Islam dalam setiap peperangan kaum muslimin. Ali pula yang senantiasa berada di samping mertuanya, Rasulullah saw.
Fatimah as senantiasa berusaha untuk berkhidmat dan membantu suami, juga berupaya untuk meringankan kepedihan dan kesedihannya. Beliau adalah sebaik-baik istri yang taat. Beliau bangkit untuk memikul tugas-tugas layaknya seorang ibu rumah tangga. Setiap kali Ali pulang ke rumah, ia mendapatkan ketenangan, ketentraman, dan kebahagiaan di sisi sang istri tercinta.
Fatimah as merupakan pokok yang baik, yang akarnya menghujam kokoh ke bumi, dan cabangnya menjulang tinggi ke langit. Fatimah dibesarkan dengan cahaya wahyu dan beranjak dewasa dengan didikan Al-Qur’an.

Keluarga Teladan

Kehidupan suami istri adalah ikatan yang sempurna bagi dua kehidupan manusia untuk menjalin kehidupan bersama.
Kehidupan keluarga dibangun atas dasar kerjasama, tolong menolong, cinta, dan saling menghormati.
Kehidupan Ali dan Fatimah merupakan contoh dan teladan bagi kehidupan suami istri yang bahagia. Ali senantiasa membantu Fatimah dalam pekerjaan-pekerjaan rumah tangganya. Begitu pula sebaliknya, Fatimah selalu berupaya untuk mencari keridhaan dan kerelaan Ali, serta senantiasa memberikan rasa gembira kepada suaminya.
Pembicaraan mereka penuh dengan adab dan sopan santun. “Ya binta Rasulillah”; wahai putri Rasul, adalah panggilan yang biasa digunakan Imam Ali setiap kali ia menyapa Fatimah. Sementara Sayidah Fatimah sendiri menyapanya dengan panggilan “Ya Amirul Mukminin”; wahai pemimpin kaum mukmin.
Demikianlah kehidupan Imam Ali as dan Sayidah Fatimah as.
Keduanya adalah teladan bagi kedua pasangan suami-istri, atau pun bagi orang tua terhadap anak-anaknya.

Buah Hati

Pada tahun ke-2 Hijriah, Fatimah as melahirkan putra pertamanya yang oleh Rasulullah saw diberi nama “Hasan”. Rasul saw sangat gembira sekali atas kelahiran cucunda ini. Beliau pun menyuarakan azan pada telinga kanan Hasan dan iqamah pada telinga kirinya, kemudian dihiburnya dengan ayat-ayat Al-Qur’an.
Setahun kemudian lahirlah Husain. Demikianlah Allah SWT berkehendak menjadikan keturunan Rasulullah saw dari Fatimah Az-Zahra as. Rasul mengasuh kedua cucunya dengan penuh kasih dan perhatian. Tentang keduanya beliau senantiasa mengenalkan mereka sebagai buah hatinya di dunia.
Bila Rasulullah saw keluar rumah, beliau selalu membawa mereka bersamanya. Beliau pun selalu mendudukkan mereka berdua di haribaannya dengan penuh kehangatan.
Suatu hari Rasul saw lewat di depan rumah Fatimah as. Tiba-tiba beliau mendengar tangisan Husain. Kemudian Nabi dengan hati yang pilu dan sedih mengatakan, “Tidakkah kalian tahu bahwa tangisnya menyedihkanku dan menyakiti hatiku.”
Satu tahun berselang, Fatimah as melahirkan Zainab. Setelah itu, Ummu Kultsum pun lahir. Sepertinya Rasul saw teringat akan kedua putrinya Zainab dan Ummu Kultsum ketika menamai kedua putri Fatimah as itu dengan nama-nama tersebut.
Dan begitulah Allah SWT menghendaki keturunan Rasul saw berasal dari putrinya Fatimah Zahra as.

Kedudukan Fatimah Az-Zahra’ as

Meskipun kehidupan beliau sangat singkat, tetapi beliau telah membawa kebaikan dan berkah bagi alam semesta. Beliau adalah panutan dan cermin bagi segenap kaum wanita. Beliau adalah pemudi teladan, istri tauladan dan figur yang paripurna bagi seorang wanita. Dengan keutamaan dan kesempurnaan yang dimiliki ini, beliau dikenal sebagai “Sayyidatu Nisa’il Alamin”; yakni Penghulu Wanita Alam Semesta.
Bila Maryam binti ‘Imran, Asiyah istri Firaun, dan Khadijah binti Khuwalid, mereka semua adalah penghulu kaum wanita pada zamannya, tetapi Sayidah Fatimah as adalah penghulu kaum wanita di sepanjang zaman, mulai dari wanita pertama hingga wanita akhir zaman.
Beliau adalah panutan dan suri teladan dalam segala hal. Di kala masih gadis, ia senantiasa menyertai sang ayah dan ikut serta merasakan kepedihannya. Pada saat menjadi istri Ali as, beliau selalu merawat dan melayani suaminya, serta menyelesaikan segala urusan rumah tangganya, hingga suaminya merasa tentram bahagia di dalamnya.
Demikian pula ketika beliau menjadi seorang ibu. Beliau mendidik anak-anaknya sedemikian rupa atas dasar cinta, kebaikan, keutamaan, dan akhlak yang luhur dan mulia. Hasan, Husain, dan Zainab as adalah anak-anak teladan yang tinggi akhlak dan kemanusiaan mereka.

Kepergian Sang Ayah

Sekembalinya dari Haji Wada‘, Rasulullah saw jatuh sakit, bahkan beliau sempat pingsan akibat panas dan demam keras yang menimpanya. Fatimah as bergegas menghampiri beliau dan berusaha untuk memulihkan kondisinya. Dengan air mata yang luruh berderai, Fatimah berharap agar sang maut memilih dirinya dan merenggut nyawanya sebagai tebusan jiwa ayahandanya.
Tidak lama kemudian Rasul saw membuka kedua matanya dan mulai memandang putri semata wayang itu dengan penuh perhatian. Lantas beliau meminta kepadanya untuk membacakan ayat-ayat suci Al-Qur’an. Fatimah pun segera membacakan Al-Qur’an dengan suara yang khusyuk.
Sementara sang ayah hayut dalam kekhusukan mendengarkan kalimat-kalimat suci Al-Qur’an, Fatimah pun memenuhi suasana rumah Nabi. Beliau ingin menghabiskan detik-detik akhir hayatnya dalam keadaan mendengarkan suara putrinya yang telah menjaganya dari usia yang masih kecil dan berada di samping ayahnya di saat dewasa.
Rasul saw meninggalkan dunia dan ruhnya yang suci mi’raj ke langit.
Kepergian Rasul saw merupakan musibah yang sangat besar bagi putrinya, sampai hatinya tidak kuasa memikul besarnya beban musibah tersebut. Siang dan malam, beliau selalu menangis.
Belum lagi usai musibah itu, Fatimah as mendapat pukulan yang lebih berat lagi dari para sahabat yang berebut kekuasaan dan kedudukan.
Setelah mereka merampas tanah Fadak dan berpura-pura bodoh terhadap hak suaminya dalam perkara khilafah (kepemimpinan), Fatimah Az-Zahra’ as berupaya untuk mempertahankan haknya dan merebutnya dengan keberanian yang luar biasa.
Imam Ali as melihat bahwa perlawanan terhadap khalifah yang dilakukan Sayidah Fatimah as secara terus menerus bisa menyebabkan negara terancam bahaya besar, hingga dengan begitu seluruh perjuangan Rasul saw akan sirna, dan manusia akan kembali ke dalam masa Jahiliyah.
Atas dasar itu, Ali as meminta istrinya yang mulia untuk menahan diri dan bersabar demi menjaga risalah Islam yang suci.
Akhirnya, Sayidah Fatimah as pun berdiam diri dengan menyimpan kemarahan dan mengingatkan kaum muslimin akan sabda Nabi, “Kemarahannya adalah kemarahan Rasulullah, dan kemarahan Rasulullah adalah kemarahan Allah SWT.”
Sayidah Fatimah as diam dan bersabar diri hingga beliau wafat. Bahkan beliau berwasiat agar dikuburkan di tengah malam secara rahasia.

Kepergian Putri Tercinta Rasul

Bagaikan cahaya lilin yang menyala kemudian perlahan-lahan meredup. Demikianlah ihwal Fatimah Az-Zahra’ as sepeninggal Rasul saw. Ia tidak kuasa lagi hidup lama setelah ditinggal wafat oleh sang ayah tercinta. Kesedihan senantiasa muncul setiap kali azan dikumandangkan, terlebih ketika sampai pada kalimat Asyhadu anna Muhammadan(r) Rasulullah.
Kerinduan Sayidah Fatimah untuk segera bertemu dengan sang ayah semakin menyesakkan dadanya. Bahkan kian lama, kesedihannya pun makin bertambah. Badannya terasa lemah, tidak lagi sanggup menahan renjana jiwanya kepada ayah tercinta.
Demikianlah keadaan Sayidah Fatimah as saat meninggalkan dunia. Beliau tinggalkan Hasan yang masih 7 tahun, Husain yang masih 6 tahun, Zainab yang masih 5 tahun, dan Ummi Kultsum yang baru saja memasuki usia 3 tahun.
Yang paling berat dalam perpisahan ini, ia harus meninggalkan suami termulia, Ali as, pelindung ayahnya dalam jihad dan teman hidupnya di segala medan.
Sayidah Fatimah as memejamkan mata untuk selamanya setelah berwasiatkan kepada suaminya akan anak-anaknya yang masih kecil. Beliau pun mewasiatkan kepada sang suami agar menguburkannya secara rahasia. Hingga sekarang pun makam suci beliau masih misterius. Dengan demikian terukirlah tanda tanya besar dalam sejarah tentang dirinya.
Fatimah Az-Zahra’ as senantiasa memberikan catatan kepada sejarah akan penuntutan beliau atas hak-haknya yang telah dirampas. Sehingga umat Islam pun kian bertanya-tanya terhadap rahasia dan kemisterian kuburan beliau.
Dengan penuh kesedihan, Imam Ali as duduk di samping kuburannya, diiringi kegelapan yang menyelimuti angkasa. Kemudian Imam as mengucapkan salam, “Salam sejahtera bagimu duhai Rasulullah … dariku dan dari putrimu yang kini berada di sampingmu dan yang paling cepat datang menjumpaimu.
“Duhai Rasulullah! Telah berkurang kesabaranku atas kepergian putrimu, dan telah berkurang pula kekuatanku … Putrimu akan mengabarkan kepadamu akan umatmu yang telah menghancurkan hidupnya. Pertanyaan yang meliputinya dan keadaan yang akan menjawab. Salam sejahtera untuk kalian berdua!”

Riwayat Singkat Sayidah Fatimah as

Nama        : Fatimah.
Julukan    : Az-Zahra’, Al-Batul, At-Thahirah.
Ayah         : Mahammad.
Ibu            : Khadijah binti Khuwailid.
Kelahiran : Jumat 20 Jummadil Akhir.
Tempat     : Makkah Al-Mukarramah.
Wafat       : MadinahAl-Munawarah, Tahun 11 H.
Makam    : Tidak diketahui.

Friday, 5 August 2011

Ketokohan Saidatina Khadijah r.a


Saidatina Khadijah binti Khuwailid adalah wanita pertama yang telah mendapat gelaran Umul Mukminin. Dialah wanita pertama yang bertakhta di hati Rasulullah s.a.w. dan berjaya menakluk hati Rasulullah dengan cinta yang tidak pernah kunjung padam.
Namanya sentiasa menjadi sebutan Rasulullah s.a.w. sehinggalah pada satu ketika Saiditina Aisyah r.a. menempelak dengan katanya, “Tidakkah ada wanita lain yang engkau sebut-sebut selain dari wanita tua yang sudah tiada lagi! Bukankah Allah telah menggantikannya dengan orang yang lebih baik?” Rasulullah s.a.w. merasa sangat tersinggung dengan kata-kata itu lalu dengan tegas Rasullulah s.a.w. menjelaskan:
“Wahai Aisyah: Demi Allah, tidak ada siapa yang dapat menggantikannya, jasanya, pengorbanannya tidak akan dapat ditandingi oleh sesiapapun, ketika tidak ada seorang pun yang beriman kepadaku. Dialah orang yang pertama beriman kepadaku. Ketika semua orang mengharamkan hartanya kepadaku, dialah antara orang yang mengorbankan segala hartannya untuk perjuanganku. Ketika aku dipersenda, dilanda oleh nestapa, dia meletakkan aku ditempat yang sangat mulia, dia dapat memberikan segala kegembiraan dan kasih sayang kepadaku. Dialah juga yang dapat melahirkan ramai anak-anak untukku.” Dan… ketika aku pertama kali didatangi Jibrail a.s. aku kebingungan, ketakutan… apakah yang akan berlaku kepada diriku, dia telah dapat mengembalikan ketenangan dihatiku, memberikan keyakinan bahawa… akulah Rasulullah yang ditunggu-tunggu untuk semesta alam.”
Mendengar ucapan itu sedarlah Saiditina Aisyah bahawa kata-katanya tadi adalah didorong oleh cemburu yang melulu dan mulai saat itu ia turut menyanjung tinggi keagungan Saidatina Khadijah r.a.
RUMAHTANGGANYA
Saiditina Khadijah sangat terkenal di kalangan kaumnya, kerana segala keistimewaan terkumpul pada dirinya, kecantikan, kebangsawanan, kebijaksanaan dan keluhuran budi pekerti.
Suaminya yang pertama bernama 'Atik Almahfuzi, setelah mendapat seorang puteri, perkahwinan itu tidak kekal, tidak lama kemudian ia berkahwin pula dengan Abi Halaalah Altimi setelah dikurnikan seorang putera, perkahwinan ini juga tidak kekal. Selepas itu kira-kira 10 tahun lamanya Saidatina Khadijah tidak terfikir untuk berumahtangga lagi, walaupun ramai dikalangan pembesar-pembesar Quraisy, orang-orang kenamaan dan orang-orang kaya menghulur tangan mahu menjadikannya ratu dalam hidup mereka tetapi semuanya ditolak. Penolakan itu adalah disebabkan oleh sesuatu yang lebih besar dan sering memenuhi pemikirannya iaitu apa yang pernah didengarnya pada suatu hari sedang ia bersama-sama temannya seorang rahib datang mengatakan kepada mereka:
“Dengarlah wahai wanita, akan diutus seorang Nabi tidak lama lagi, barangsiapa diantara kamu yang ingin menjadi isterinya, buatlah.” Sambil ia tertawa, seolah-olah mempersendakan mereka. Wanita-wanita yang berada disitu menjadi marah hingga ada yang melontarkan batu kearah rahib itu, kecuali Saidatina Khadijah, kata-kata itu menusuk kalbunya, menggentarkan hatinya, benarkah itu, kalau benar mungkinkah aku menjadi isterinya, ya, akulah yang akan berdiri di sampingnya untuk memberi hidayah kepada kawannya yang telah jauh dari nilai insaniah yang sebenar, patung berhala, arak dan kezaliman bermaharajalela, bilakah akan lahir seorang Nabi untuk mengembalikan manusia ke jalan kebenaran… demikianlah bisikan hatinya selalu.
DETIK-DETIK PERTEMUAN DENGAN NABI MUHAMMAD S.A.W.
Dalam kesibukan menguruskan perniagaannya, mencari pengurus-pengurus yang benar-benar bijak dan amanah, Saidatina Khadijah terfikir kepada pemuda Al-Amin di kalangan kaumnya, ia tidak ada sebarang cacat celanya, rupa paras atau tingkah lakunya.
Melalui orang-orangnya ia menawar kepada Nabi Muhammad s.a.w. untuk menguruskan perniagaannya ke negeri Syam dengan bayaran berlipat ganda dari biasa dan Maisara akan menjadi pembantunya.
Dengan izin dan restu Abu Talib berlayarlah Nabi Muhammad s.a.w. mengepalai satu kafilah perniagaan yang sangat besar dengan dibantu oleh Maisara. Inilah pertama kalinya Nabi Muhammad s.a.w. mengendalikan perniagaan besar sendirinya tanpa Abu Talib yang sering menemaninya ke mana-mana.
Di Syam, Maisara memerhatikan dengan penuh takjub penggendalian Rasulullah s.a.w. yang luar biasa dan mendatangkan hasil yang luar biasa, semuanya: kejujuran, keikhlasan, kesederhanaan, tanpa sebarang penipuan, kepalsuan, propaganda, pemerasan dan sebagainya yang selama ini merupakan salah satu cara melipat gandakan keuntungan. Maisara berazam untuk menceritakan segala-galanya kepada Saidatina Khadijah, demi ingin supaya Muhammad s.a.w. menjadi pengurus harta itu buat selama-lamanya.
Di Mekah… Saidatina Khadijah dan Abu Talib menunggu-nunggu kepulangan kafilah Muhammad s.a.w. dengan debaran, takut dan bimbang jikalau sesuatu yang buruk menimpa Muhammad s.a.w. Abu Talib teringat pesanan rahib-rahib dan paderi kepadanya sewaktu pertama kali ke Syam dahulu “supaya menjaga Muhammad s.a.w. baik-baik, sesuatu yang amat besar akan berlaku kepada dirinya dan umatnya, ada yang tidak senang akan cuba membunuhnya.” Inilah yang menyebabkan Abu Talib menyesal membenarkan Muhammad s.a.w. pergi ke Syam.
Dan… sampailah saat yang ditunggu-tunggu. Dari pinggir kota Mekah terdengarlah berita bahawa kafilah Muhammad s.a.w. sedang menuju ke kota Mekah, membawa keuntungan dan barang yang belum pernah ada sebelumnya, gemparlah kota Mekah, terdengarlah sorak sorai menunggu barang-barang indah dari Negara Syam. Saidatina Khadijah pula ditengah-tengah pujian-pujian temannya, menunggu, kedatangan Muhammad s.a.w. menemuinya dengan penuh kesabaran. Sesampainya di Mekah, Muhammad s.a.w. terus meminta izin untuk menemui Saidatina Khadijah dengan penuh adab sopan, keikhlasan dan kerendahan hati, Muhammad s.a.w. menyerahkan segala keuntungan dan barang-barang perniagaannya serta menceritakan pengalamannya di negeri Syam, kenangan-kenangannya sewaktu di sana bersama Abu Talib dahulu, perbualannya dengan rahib-rahib dan paderi, di persinggahan mereka, setelah itu keluarlah Muhammad s.a.w. membawa wang yang berlipat ganda hasil dari titik peluhnya. Semua yang ada di majlis itu sepakat mengatakan:-
“Sebenarnya Muhammad itu bukan manusia biasa.”
Pada malamnya Maisara menceritakan segala keistimewaan yang dilihatnya mengenai Muhammad s.a.w. antara lain betapa para rahib dan paderi yang mereka temui memuliakannya, menjemput dan menjamu Muhammad s.a.w. di tempat-tempat ibadat mereka dan memberitahu Maisara bahawa pada Muhammad s.a.w. ini terdapat segala tanda-tanda dan sifat-sifatnya yang tersebut di dalam Taurat dan Injil bahawa “Dialah Nabi yang ditunggu-tunggu, dialah akhir segala Rasul-rasul.”
Mendengar itu debarannya begitu kencang, ia mengarahkan supaya semua fakir miskin di kota Mekah diberi makan dan sedekah daripada keuntungan-keuntungan yang diperolehi. Namun, debaran hatinya tidak dapat ditanggung seorang diri, ia mesti menemui Warqah bin Naufal anak bapa saudaranya, seorang rahib yang sangat warak dan arif tentang isi-isi Taurat dan Injil.
Setelah mendengar Khadijah, Warkah mengatakan: “Tidakkah engkau ingat wahai Khadijah, ketika engkau meminta aku meramalkan mimpimu, bahawa engkau bermimpi melihat matahari bersinar terang benderang, kemudian matahari itu masuk ke rumahmu, cahayanya menyinari kota Mekah dan kemudian menyinari seluruh alam ini! Bukankah telah ku katakan; Bahawa engkau akan berkahwin nanti, dan suamimu itu akan menjadi seperti matahari yang kau lihat itu, ya, manalah tahu, Muhammad itulah yang akan menjadi Nabi umat ini, kalau itulah pilihanmu memanglah tepat sekali. Wahai Khadijah, segala keistimewaan yang ada padanya, semuanya telah kubaca dalam Taurat dan Injil.”
MENJADI ISTERI AL-AMIN
Pulanglah Saidatina Khadijah dengan suatu azam bahawa ia akan menjadi isteri Muhammad s.a.w. dan memang tidak menyalahi hukum dan adat, andainya wanita menyatakan cita-cita yang demikian kepada seorang lelaki yang tidak ada tolak bandingnya. Namun demikian Saidatina Khadijah ingin mengetahui sama ada Muhammad s.a.w. menerimanya atau tidak, untuk itu ia berbincang dengan adiknya Ha’alah dan beberapa orang sahabat-sahabatnya, akhirnya mereka memilih Nafisah binti Mambah untuk menemui Rasulullah s.a.w. menyatakan hasrat suci Saidatina Khadijah.
Dengan rasa rendah hati Rasulullah s.a.w. menyatakan : “Siapakah aku ini jika dibandingkan dengan Khadijah, aku berasal dari anak yatim Quraisy sedangkan ia penghulu Quraisy ini.” Dengan kebijaksanaan Nafisah akhirnya Nabi Muhammad s.a.w. meminta tangguh untuk berunding dengan Abu Talib, dan terkejutlah Abu Talib dengan perbicaraan anak saudaranya itu, akhirnya ia bersuara: “Wahai anakku, walaupun engkau tidak mempunyai harta tetapi engkau kaya dengan kemuliaan dan ketinggian budi.”
Jawab Muhammad s.a.w.: “Wahai ayahanda anakanda tidak pernah mengangankan harta kekayaan.” Tidak lama kemudian rombongan peminangan dan akad perkahwinan Nabi diketuai oleh Abu Talib telah disambut baik oleh keluarga Saidatina Khadijah yang diketuai oleh bapa saudaranya Amru bin Asad dan abangnya ‘Amru bin Khuailid’ dengan mas kahwin sebanyak 20 ekor unta.
Perkahwinan ini dirayakan oleh seluruh penduduk kota Mekah Al-Mukaramah dengan gembiranya.
“Berbahagialah Saidatu Quraisy di samping Amin Quraisy”
PENGORBANAN-PENGORBANAN DAN KETOKOHANNYA
Kebahagiaan rumahtangga Rasulullah s.a.w. bertambah dari hari kehari dengan bertambah 3 orang putera dan 4 orang puteri Rasulullah s.a.w. Tetapi tidak lama kemudian berlakulah ujian-ujian Allah keatas keluarga ini, dengan pemergian dua orang puteranya – Al Qasim Abdullah buat selama-lamanya. Menitislah air mata Nabi s.a.w. perlahan-lahan dengan kesedihan yang tiada tertahan, sebagai seorang ibu yang melahirkan, Saidatina Khadijah juga merasa pilu tiada terkira. Tetapi melihat kesedihan suaminya yang tercinta ia memendamkan saja kepiluannya, dikumpulkan segala daya hatinya untuk melahirkan ketenangan dan kesabaran. Pengorbanan perasaannya ini telah dapat menghiburkan hati Rasulullah, hingga kembalilah suasana keluarga seperti biasa, ketika Rasulullah s.a.w. sering pergi beruzlah, mendaki puncak-puncak bukit, meredah sahara yang luas, menerawang angkasa lepas, meneliti kejadian alam dengan segala keindahan dan keganjilannya, kemudian berkhalwat di Gua Hira’, beribadat dengan khusyuk dan tawaduk mengikuti ajaran agama Ibrahim a.s., dengan dorongan dan pengorbanan Saidatina Khadijah yang tidak akan mampu dilakukan oleh orang lain.
Sebagai seorang isteri Saidatina Khadijah sangat mengerti dan memahami kegemaran suaminya itu, setiap kali pemergiannya Khadijah akan membekalkan Rasul dengan makanan-makanan kegemarannya, iaitu serbuk ataupun pecahan-pecahan gandum, sedikit garam, minyak zaitun, tamar dan air zam-zam, seringkali pula Saidatina Khadijah menghantar khadam-khadamnya mencari untuk mengetahui khabar beritanya atau memberi bekalannya.
Setiap kali kepulangannya pula disambut oleh Khadijah dengan penuh kasih sayang. Bualan-bualan mesra dan cerita-cerita yang menyenangkan, kerana ia yakin suaminya sedang melalui satu proses yang amat sukar dalam meningkatkan kerohaniannya dan maqamnya di sisi tuhan Rabbul Jalil, malah seringkali apabila Nabi s.a.w. menceritakan kebimbangan dan keresahan hatinya dengan apa yang ia alami di Gua Hira, Khadijah meyakinkan bahawa apa yang ia lakukannya itu adalah suatu yang sangat besar ertinya buat masa hadapan, ia sangat berbangga dengan keteguhan hatinya berkhalwat dalam kegelapan Gua Hira dan beruzlah di tengah-tengah kerdipan ribuan bintang-bintang memikirkan kejadian alam dan hakikat ketuhanan.
Satu ketika Rasul menceritakan kepadanya: “Ya Khadijah aku kini sering melihat berbagai-bagai jenis cahaya, berbagai-bagai jenis suara, aku takut, kalau-kalau aku akan menjadi seorang tukang tenung.” Dengan tegas Saidatina Khadijah menjawab: Tidak wahai Muhammad, iblis dan syaitan tidak akan dapat menembusi hati-hati yang suci seperti hatimu itu.”
Walau bagaimanapun untuk lebih meyakinkan ia pergi menemui Warkah bin Naufal bertanyakan soal itu, Warqah menyatakan: “Ya Khadijah aku percaya, Muhammadlah yang akan menjadi Nabi kepada umat ini seperti yang disebut oleh Isa dan Musa didalam kitab-kitabnya.”
Kenyataan ini sangat menggembirakan Saidatina Khadijah, hatinya terus berkata-kata, “Benarkah… benarkah suamiku akan menjadi Nabi?” Ia mahu supaya Nabi Muhammad s.a.w. mendengar sendiri dari mulut Warqah. Ia merasakan tidak seorang pun yang lebih sesuai menjadi teman Muhammad s.a.w. menemui Warqah melainkan sahabatnya Abu Bakar As Siddiq. Dengan dorongan Khadijah pada suatu hari pergilah Nabi Muhammad s.a.w. dengan ditemani oleh Abu Bakar As Siddiq r.a. ke rumah Warqah mendengar sendiri bukti-bukti kenabian daripadanya. Demikianlah kehangatan semangat, keteguhan peribadi yang merupakan cahaya-cahaya murni dalam hidup Rasulullah s.a.w.
Ketika umur Nabi Muhammad s.a.w. mulai menjangkau 40 tahun, Nabi mula menceritakan kepadanya bahawa segala perkara yang dilihat dalam tidurnya akan benar-benar berlaku dan dilihatnya pada masa jaganya atau apa yang disebut sebagai ‘rukya-As-Sadaqah’.
Kemudian Nabi mula merasakan bahawa cahaya iman begitu kuat menembusi hatinya, bahawa kalimah ‘Lailahaillallah’ begitu bergema disanubarinya, bahawa Allah melihat segala kelakuan manusia walau sebesar zarah sekalipun, bahawa kaumnya telah begitu jauh sesat.
Siapakah akan menunjukkan jalan-jalan kebenaran kepada kaumnya? Siapakah yang akan menunjukkan jalan-jalan hidayah kepada kaumnya? Persoalan-persoalan ini begitu berat dirasakannya dan hanya Khadijah orang yang dapat memahaminya, Khadijah dapat merasakan bahawa saat-saat kenabian dan kerasulan sudah hampir tiba.
Benarlah sangkaan-sangkaannya, satu hari di pertengahan bulan ramadhan, pulanglah Nabi s.a.w. dari gua Hira’ dalam keadaan yang sungguh mendebarkan, dengan ketakutan, peluh-peluh sejuk membasahi jasadnya, Nabi meminta Khadijah menyelimutinya, berada disampingnya mententeramkan perasaannya, meredakan ketakutannya, setelah tenang sedikit barulah Nabi menceritakan segala peristiwa kedatangan Jibril a.s. mengajarkannya wahyu yang pertama. Sebagai seorang isteri yang bijak bistari Khadijah mendengar dengan penuh minat dan khusyu’ segala curahan hati suaminya yang sedang dilanda seribu satu macam perasaan dan persoalan, akhirnya dengan segala ketenangan dan keyakinan yang ada padanya terukirlah sebuah senyuman diiringi dengan kata yang masyhur: “Gembiralah, tenangkanlah hatimu wahai Muhammad demi Tuhan yang menjadikan diriku, Allah tidak sekali-kali akan menghinamu, engkaulah sesungguhnya selama ini menghubungkan silaturrahim, menjalankan amanah, melaksanakan tanggungjawab, memuliakan tetamu, mengembalikan hak-hak kepada tuannya dan kaulah orang yang benar percakapannya.”
Kata-kata Khadijah begitu dingin dan damai mengalir menyirami hati Muhammad s.a.w. yang sedang dilanda kebingungan, kebijaksanaannya memilih kata-kata untuk mengembalikan ketenangan kepadanya, sangat-sangat disanjung tinggi oleh Nabi Muhammad s.a.w. namun demikian Saidatina Khadijah terus berada disampingnya sehinggalah Nabi terlena oleh keletihannya.
Sebenarnya Saidatina Khadijah pun merasa takut, apakah yang telah berlaku kepada suaminya, ia benar-benar takut dan dengan diam-diam ia keluar mencari Warqah, menceritakan segala-galanya, dan dengan gembira Warqah menyatakan: Bukankah telah ku katakan dulu wahai Khadijah, dialah Nabi umat ini, itulah Malaikat yang mendatangi Musa a.s. dahulu, tenangkanlah hatinya…” Mendengar itu Khadijah bagaikan melayang-layang ingin segera sampai kepada Muhammad s.a.w. tetapi sebaik-baik sampai sahaja dilihatnya sesuatu yang mendebarkan hatinya berlaku pula. Muhammad s.a.w. menggigil, menggeletar, peluh dingin mercik didahinya sedang bibirnya menyebut-nyebut ayat ‘Yaaiyuhalmuddatsir’ perlahan-lahan dengan penuh penghargaan Khadijah datang membelai Rasulullah s.a.w. dan bertanya:
“Apakah yang telah berlaku wahai Abal Qasim?”
“Jibril mendatangi aku lagi dan menghafalkan kepada aku ayat-ayat yang sedang kubaca ini.”
“Ya Abal Qasim, sekiranya sahabatmu itu datang lagi, beritahulah kepadaku.”
“Baiklah.” Jawab Nabi.
Tidak lama kemudian datanglah lagi Jibril, Rasul pun segera memanggil Saidatina Khadijah, lalu Saidatina Khadijah memanggil pula Nabi datang menghampirinya sambil bertanya:
“Sekarang adakah kau masih melihatnya?”
“Ya, aku melihatnya.” Sedangkan Saidatina Khadijah tidak melihat Jibril a.s.. Kemudian Saidatina Khadijah meminta Nabi Muhammad s.a.w. memasukkan kepalanya kedalam baju Saidatina Khadijah sambil bertanya lagi.
“Sekarang adakah kau masih melihatnya?”
“Tidak!” jawab Rasulullah s.a.w.
“Bagus, kalau begitu memang benarlah ia seorang Malaikat, kerana sekiranya ia syaitan, ia tidak mempunyai sifat malu.”
Kemudian Saidatina Khadijah menceritakan apa yang dikatakan oleh Warqah tadi dan tanpa diminta oleh Nabi s.a.w. Saidatina Khadijah menyatakan keimanan yang mutlak terhadap kerasulan Nabi Muhammad s.a.w. dan ia benar-benar meyakini bahawa suaminya itulah Nabi yang ditunggu-tunggu selama ini, dengan itu Saidatina Khadijah merupakan orang yang pertama beriman kepada Rasulullah s.a.w. dimuka bumi ini.
Dengan peristiwa bersejarah ini keluarlah Nabi Muhammad s.a.w. dari uzlah membawa wahyu, memberi khabar suluh dan daulah, gambaran derita, didunia ini dan diakhirat nanti, dakwah dan risalah ini disambut baik oleh golongan bawahan, tetapi ditentang hebat oleh golongan atasan. Penentangan ini membawa kepada penderitaan dan penyiksaan terhadap Rasulullah s.a.w. dan pengikut-pengikutnya, seribu satu macama tekanan dan siksaan itu ditanggungnya bersama-sama Saidatina Khadijah r.a. Ia telah menggunakan segala pengaruh dan harta yang ada olehnya untuk mempertahan dan memperkuatkan perjuangan Rasulullah s.a.w. di saat-saat penuh dengan ketegangan dan api hasad dendam ini, hanya diruang rumahlah Rasulullah s.a.w. mendapat kedamaian, senyuman dan kemanisan wajah Saidatina Khadijahlah nabi mendapat penawar segala derita yang menimpa dalam perjuangannya.
Hinggalah disaat-saat genting perjuangan ini apabila suku-suku Quraisy sepakat untuk memulaukan dan mengenakan sekatan ekonomi yang amat dahsyat terhadap keluarga Nabi dan pengikutnya, dengan menggunakan kekerasan mereka telah menghimpunkan keluarga Nabi dan pengikutnya di satu wadi/lembah di tengah-tengah kota Mekah yang dipanggil ‘Sya’ba Hasyim’. Kemasyhuran permulaan ini mereka tulis dan digantung didalam Ka’abah. Peristiwa pahit ini berlaku dan bermula pada malam pertama, bulan pertama, tahun ketujuh selepas ba’sah (kebangkitannya) sebagai Rasul s.a.w., sehingga tiga tahun lamanya. Dalam peristiwa ini, sebenarnya tidak ada sesiapa yang dapat memaksa Saidatina Khadijah untuk keluar rumahnya kerana kedudukannya dan hartanya, tetapi Saidatina Khadijah dengan kerelaan hatinya sendiri, demi kasihnya kepada suaminya, demi keimanannya kepada kerasulannya, ia keluar bersama-sama puternya, mengikut Rasulullah s.a.w. dan pengikutnya meninggalkan segala kemewahan dan kesenangan hidup, hinggalah apabila mereka dibebaskan oleh sebab ‘kertas pemasyhuran’ itu dimakan anai-anai kecuali perkataan Allah. Saidatina Khadijah telah dibawa keluar dalam usungan dari Sha’ba Hasyim itu kerumahnya, ia telah jatuh sakit kerana penderitaan-penderitaan yang dialami selama tiga tahun itu. Sejak didalam usungan sampailah di rumah mereka, Nabi Muhammad s.a.w. dan puterinya tidak pernah berenggang darinya, walaupun sakitnya semakin hari semakin tenat, namun demikian tiada keluhan, tiada rintihan, tiada penyesalan darinya malah api semangatnya terus membara memberi sumber kekuatan yang tidak ada taranya kepadanya dan para sahabat-sahabatnya berjuang mendaulatkan Allah Rabbul A’lamin.
Tiga hari kemudian Saidatina Khadijah dengan damai dan sejahtera menghembuskan nafasnya yang akhir menyahut seruan PenciptaNya, meninggalkan Rasulullah s.a.w. dan puterinya dalam kesedihan yang tiada taranya.
Penutup
Demikianlah Saidatina Khadijah telah lama meninggalkan kita, tetapi api semangat, kegigihan, pengorbanan tetap kekal membara untuk selama-lamanya. Menjadi inspirasi perjuangan para Mujahidin dan Mujahidat dalam usaha mengembalikan Islam ke zaman kegemilangannya.

Sifat Romantik Rasullullah s.a.w

Rasulullah SAW adalah contoh yang terbaik seorang suami yang mengamalkan sistem Poligami. Baginda romantik kepada kesemua isterinya. disebutkan satu kisah pada suatu hari isteri-isteri baginda berkumpul dihadapanbaginda lalu bertanya siapakah diantara mereka (isteri-isteri) baginda yang paling disayangi". Rasulullah SAW hanya tersenyum lalu berkata, "Saya akan beritahu kamu kemudian~. "

Selepas daripada pertemuan itu, Rasulullah telah memberikan setiap seorang daripada isteri-isteri baginda sebentuk cincin. Baginda berpesan supaya tidak memberitahu kepada isteri-isteri yang lain~ . Lalu suatu hari mereka berkumpul lagi dan bertanyakan soalan yang sama. Rasulullah SAW lalu menjawab "Orang yang paling aku sayangi ialah yang kuberikan cincin kepadanya". Isteri-isteri baginda tersenyum puas kerana menyangka hanya diri mereka sahaja yang mendapat cincin dan merasakan bahawa diri mereka tidak terasing.

Tidak ketinggalan amalan-amalan lain yang boleh dilakukan untuk mendapat suasana romantik ini Rasulullah SAW ada bersabda yang bermaksud: "Apabila pasangan suami isteri berpegangan tangan, dosa-dosa akan keluar melalui celah-celah jari mereka". Rasulullah SAW selalu berpegangan tangan dengan Aisyah ketika di dalam rumah. Baginda acap kali memotong kuku isterinya, mandi junub bersama, dan mengajak salah seorang dari isteri baginda pergi musafir (mengikut undian) untuk menambahkan lagi kasih sayang di antara mereka.

Inilah serba sedikit kisah romantik Rasulullah SAW agar dapat kita tauladani dan praktikkan dalam kehidupan berumahtangga. Pada suami-suami yang budiman selepas ini peganglah tangan isteri anda setiap waktu, setiap masa dan setiap saat begitu juga pada isteri-isteri solehah peganglah tangan suami anda bagi menghapuskan segala dosa-dosa~. ada yang belum berumahtangga tu cepat-cepatlah mendirikan rumahtangga~ kerana dengan perkahwinan itu boleh menjamin anda ke syurga.

"Ya Allah cantikkanlah akhlak ku seperti mana cantiknya akhlak Rasulullah SAW, tenangkanlah hati ku bagai tenangnya air di tasik, dan serikanlah wajahku bagai bercahayanya bulan purnama di hari berserinya wajah orang-orang beriman...." Aaaammmmmiiiiin~ Ya Rabbal 'Alamin~^^ Sabda Nabi, ilmu itu milik Tuhan, barang siapa menyebarkan ilmu demi kebaikan, Insya Allah Tuhan akan menggandakan 10 kali kepadanya ALLAHUAKBAR~

Kisah Saidatina Aisyah r.a

Kisah hidup Saidatina Aisyah r.a. telah membuktikan bahawa wanita mampu menguasai bidang keilmuan mengatasi kaum lelaki serta mampu menjadi pendidik kepada para ilmuan dan pakar-pakar diberbagai bidang.
Kehidupan beliau juga menjadi bukti kemampuan wanita dalam mempengaruhi pandangan masyarakat, baik lelaki maupun perempuan, serta membekalkan sumber inspirasi dan kepimpinan yang mantap. Wanita yang kaya dengan pekerti tinggi,lemah lembut serta sopan santun ini juga telah membawa kebahagiaan dan ketenangan hati yang tidak putus kepada suaminya.
Saidatina Aisyah r.a. bukan seorang graduan dari mana-mana universiti memandangkan belum wujud lagi institusi sedemikian pada ketika hayat beliau seperti yang ada sekarang. Namun begitu, lafaz ucapan beliau menjadi bahan kajian dalam bidang sastera, fatwa- fatwa syariah yang beliau keluarkan dikaji di institusi-instusi perundangan, hidup dan hasil pengkajian beliau diteliti oleh para mahasiswa dan pendidik dalam pengkajian sejarah Islam sejak seribu tahun yang lalu.
Khazanah pengetahuan yang dimiliki Saidatina Aisyah r.a. diperoleh sejak beliau masih seorang kanak-kanak. Pada usia mudanya, Aisyah r.a. dibesarkan oleh bapanya, seorang Muslim yang dihormati dan disegani ramai lantaran ketinggian ilmunya, kelembutan budi pekertinya serta peribadinya yang disegangi ramai. Tambahan pula, beliau sahabat yang paling rapat dengan Rasulullah s.a.w. serta merupakan pengunjung setia ke rumah Rasulullah s.a.w. sejak zaman awal kerasulan baginda.
Semenjak beliau muda, Aisyah r.a. yang terkenal dengan paras rupanya yang menawan serta daya ingatan yang kuat, diletakkan di bawah jagaan Rasulullah s.a.w. sendiri. Sebagai isteri serta pendamping baginda Rasulullah, Aisyah r.a. berpeluang menimba ilmu pengetahuan dari baginda sehingga ke tahap yang tidak mungkin ditandingi oleh wanita-wanita lain.
Aisyah r.a. menjadi isteri Rasulullah s.a.w. di Mekah di sekitar usia beliau mencecah sepuluh tahun, namun hanya mula menjalankan tanggungjawab sebagai seorang isteri setelah tahun kedua Hijrah, iaitu ketika usia beliau sekitar empatbelas hingga limabelas tahun. Pada waktu sebelum dan selepas pernikahan beliau, Aisyah r.a. tetap mempamerkan kegirangan serta sifat semulajadi seorang kanak-kanak. Beliau seidkit pun tidak teruja dengan statusnya sebagai isteri kepada seorang Nabi Allah yang begitu disanjungi dan dikasihi oleh para sahabat. Ini termasuklah kedua ibubapa Aisyah sendiri yang menumpukan sepenuh kasih saying serta hormat mereka kepada Rasulullah s.a.w. berbanding orang lain.
Berkenaan pernikahan beliau kepada Rasulullah s.a.w., Aisyah r.a. menceritakan, sejurus sebelum beliau ditetapkan meninggalkan rumahnya, beliau telah keluar ke halaman rumah untuk bermain-main dengan rakannya yang sedang berlalu di situ:“Aku sendang bermain di atas jungkang-jungkit dan rambutku yang panjang telah menjadi kusut” kata beliau. “Mereka datang mendapatkan ku dari permainan ku lalu menyiapkan ku.”
Saidatina Aisyah r.a. dipakaikan pakaian pengantinnya yang diperbuat dari sutera halus berjalur merah dari Bahrain. Seterusnya beliau dibawa oleh ibunya ke rumahnya yang baru siap dibina serta disambut oleh wanita-wanita Ansar di muka pintu. Mereka manyambutnya dengan ucapan “Demi kebaikan dan kebahagiaan dan semoga diiringi kesenangan.” Dalam kehadiran baginda Rasulullah yang sedang tersenyum lembut, semangkuk susu dibawa kepada mereka. Rasulullah s.a.w. minum darinya lalu memberikan susu itu kepada Aisyah. Aisyah dengan segan silu menolak pelawaan Rasulullah itu. Namun apabila Rasulullah sekali lagi menyuruh Aisyah minum dari semangkuk susu itu, Aisyah pun berbuat demikian. Seterusnya mangkuk itu diberikan kepada kakak beliau, Asma, yang berada di sisinya serta diedarkan kepada mereka yang hadir di situ. Itulah keraian yang menandai pernikahan baginda Rasulullah dengan saidatina Aisyah yang dijalankan dalam penuh kesederhanaan.
Status beliau sebagai isteri Rasulullah s.a.w. tidak merubah sifat riang Aisyah sebagai seorang kanak-kanak. Rakan-rakan beliau sering berkunjung ke rumah untuk bermain-main dengannya.
‘Sedang aku bermain dengan permainanku,’cerita Saidatina Aisyah r.a.,’bersamaku ada kawan-kawanku, dan datang baginda Rasulullah kepadaku, lalu mereka akan keluar meninggalkanku, akan tetapi Rasulullah keluar mendapatkan rakan-rakanku itu dan membawa mereka kembali kerana baginda senang denganku bermain dengan mereka.’ ‘Kadangkala baginda berkata, “Tinggal di situ, wahai Aisyah,” dan sebelum sempat rakan-rakanku meninggalkanku, baginda akan turut serta dalam permainan kami’. Kata Aisyah r.a. ‘Suatu hari, baginda Rasulullah datang ketika aku sedang bermain-main dengan anak patungku, dan baginda berkata, “Wahai Aisyah, permainan apakah ini?” “Inilah kuda-kuda Sulaiman,” kata ku dan baginda pun tertawa.’ Ada ketika apabila baginda pulang ketika Aisyah sedang bermain dengan rakan-rakannya, baginda Rasulullah akan berselindung di sebalik jubahnya agar tidak mengganggu Aisyah dan rakan-rakan beliau yang sedang bermain.
Detik-detik awal kehidupan Aisyah r.a. di Madinah turut melalui saat-saat yang mencabar. Pada suatu ketika, bapa beliau bersama dua orang sahabat yang tinggal bersamanya ketika itu telah diserang demam panas yang sering melanda Madinah pada musim-musim tertentu. Ketika Aisyah menziarahi bapanya, beliau terkejut melihat ketia-tiga orang lelaki itu sedang terlantar dalam keadaan tenat dan lemah. Aisyah bertanyakan khabar bapanya itu namun jawapan yang diberi bapa beliau tidak dapat difahami. Dua orang sahabat yang sedang tenat itu juga mengeluarkan baris-baris puisi yang difikirkan Aisyah hanyalah ratapan seorang yang sedang sakit tenat. Saidatina Aisyah berasa gusar lalu pulang menceritakan peristiwa itu kepada baginda Rasulullah s.a.w.:
‘Mereka maracau-racau, tidak keruan, disebabkan demam panas itu,’ Kemudian Rasulullah bertanya kepada Aisyah apa yang diperkatakan oleh bapanya serta dua orang sahabat yang sedang sakit tadi. Baginda berasa lega setelah Aisyah mengulangi setiap apa yang dikatakan oleh mereka walaupun kata-kata itu belum mampu difahami oleh Aisyah sendiri. Peristiwa ini menggambarkan daya ingatan Aisyah yang begitu kuat yang bakal memainkan peranan penting dalam meriwayatkan hadith-hadith baginda Rasulullah s.a.w.
Di kalangan isteri-isteri baginda di Madinah, Aisyah nyata sekali merupakan kesayangan Rasulullah s.a.w. Dari masa ke semasa, salah seorang sahabat baginda akan bertanya,:
‘Wahai Rasulullah, siapakah yang paling kau sayangi di dunia ini?’ Jawab baginda sering berbeda-beda karena baginda begitu mengasihi anak-anak serta cucu-cucunya, sahabat baginda Abu Bakar, Ali, Zaid serta anak beliau Usamah. Namun di kalangan isteri baginda yand sering disebut hanyalah Aisyah. Aisyah sendiri begitu mengasihi baginda Rasulullah serta sering meminta kepastian tentang kasih baginda terhadapnya. Pernah suatu ketika Aisyah r.a. bertanya kepada Rasulullah, ‘Bagaimanakah kasihmu terhadapku?’
‘Seperti ikatan simpulan tali,’ jawab baginda yang bermaksud kasihnya itu kuat dan kukuh. Lalu pada waktu-waktu seterusnya Saidatina Aisyah r.a. akan bertanya kepada Rasulullah, ‘Bagaimana keadaan simpulan itu?’ dan jawab baginda ‘Demi Allah, masih sama (kukuh)’.
Begitu kasihnya Aisyah kepada baginda Rasulullah sehinggakan lahir rasa cemburu dan tidak berpuas hati sekiranya perhatian Rasulullah dicurahkan kepada orang lain melebihi dirinya sendiri. Aisyah bertanya kepada baginda,:
‘Wahai Rasul Allah, katakan sendiri padaku. Sekiranya engkau berada di antara dua lembah, yang satunya tidak pernah diragut rumputnya sedangkan yang satu lagi sudah pernah diragut rumputnya, dimanakah akan engkau lepaskan ternakkanmu?’
‘Di lembah yang rumputnya belum pernah diragut,’ jawab Rasulullah. ‘Namun begitu,’kata beliau ‘aku tidaklah seperti isteri-isterimu yang lain. Setiap orang dari mereka pernah mempunyai suami yang lain sebelum mu kecuali diriku.’ Rasulullah hanya tersenyum tanpa berkata apa-apa. Cerita Aisyah lagi tentang sikap cemburunya itu:
‘Aku tidak mencemburui isteri-isteri Rasulullah yang lain sebagaimana aku mencemburui Khadijah, disebabkan baginda sering menyebut-nyebut nama Khadijah serta telah diperintahkan Allah untuk menyampaikan berita gembira kepada Khadijah tentang mahligainya di syurga yang bertatahkan permata. Setiap kali baginda Rasulullah membuat sembelihan, pasti akan diberikan sebahagian daripada daging sembelihan itu kepada teman-teman rapat Khadijah. Berkali-kali pernah ku katakan kepada baginda, “Seolah-olah tidak pernah ada wanita lain di dunia in selain Khadijah,”
Pernah suatu ketika Aisyah mengadu tentang sikap Rasulullah yang begitu memandang tinggi terhadap ‘seorang wanita tua Quraisy’, baginda berasa tersinggung lalu berkata: ‘Dialah isteri yang mempercayai diriku sedangkan orang lain menafikan diriku. Sedangkan orang lain mendustai ku, dia meyakinkan kebenaranku. Sedang aku dipulaukan, dia membelanjakan segala harta kekayaannya untuk meringankan beban sengsara ku.’
Walaupun Aisyah memiliki sifat cemburu yang sebenarnya tidak membawa kepada keburukan, beliau sesungguhnya seorang yang amat pemurah dan penyabar. Beliau mengharungi kehidupan yang serba kekurangan bersama isteri-isteri Rasulullah yang lain. Beliau tidak betah hidup tanpa sesuap makanan pun dalam jangka waktu yang panjang. Berhari-hari lamanya dapur rumah beliau tidak berasap dan beliau hidup bersama Rasulullah di atas buah tamar dan air semata-mata. Hidupnya yang miskin tidak membawa sebarang tekanan atau memalukan Aisyah r.a.; hidup berdikari tidak mengganggu cara hidup beliau walau sedikit pun.
Pernah suatu ketika, Rasulullah telah memutuskan perhubungan dengan isteri-isteri baginda sehingga sebulan lamanya. Ini disebabkan mereka meminta sesuatu yang Rasulullah tidak mampu berikan. Peristiwa ini berlaku selepas peperangan di Khaibar dimana kemenangan umat Islam membawa harta rampasan serta membuahkan keinginan terhadap harta kekayaan. Setelah kembali dari beruzlah, baginda Rasulullah pertama sekali menuju ke rumah Aisyah. Beliau begitu gembira melihat baginda telah kembali, namun Rasulullah mengkhabarkan kepadanya tentang penerimaan wahyu yang menyuruh baginda memberikan Aisyah dua pilihan. Baginda seterusnya membacakan ayat :
“Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu: “Jika kamu sekalian mengingini kehidupan dunia dan perhiasannya, maka marilah supaya kuberikan kepadamu mut’ah dan aku ceraikan kamu dengan cara yang baik. Dan jika kamu sekalian menghendaki (keredhaan) Allah dan Rasulnya-Nya serta (kesenangan) di negeri akhirat, maka sesungguhnya Allah menyediakan bagi siapa yang berbuat baik diantaramu pahala yang besar.” (al-Ahzab 28-29)
Jawab Aisyah:
‘Sesungguhnya aku memilih Allah dan RasulNya dan kehidupan di akhirat,’ dan jawabnya itu disetujui isteri-isteri baginda yang lain.
Beliau setia terhadap pilihannya itu sepanjang hidupnya bersama Rasulullah dan begitu juga setelah kewafatan baginda. Apabila umat Islam dilimpahi harta kekayaan yang banyak, beliau pernah dihadiahkan seratus ribu dirham. Walaupun ketika itu beliau sedang berpuasa dan hidup dalam kekurangan, seluruh pemberian itu disedekahkan kepada fakir miskin. Sejurus selepas itu, seorang pembantu rumahnya bertanya, ‘Bolehkan engkau menggunakan satu dirham untuk membeli daging buat berbuka puasa?’
‘Jika aku terfikirkan hal ini tadi, pasti aku sudah melakukannya,’ jawab Aisyah r.a. Kasih sayang Rasulullah terhadap Aisyah berkekalan sehingga akhir hayat baginda. Ketika baginda sedang nazak, baginda telah pulang ke rumah Aisyah atas izinisteri-isteri baginda yang lain. Kebanyakan masa baginda hanya terlantar di katil dengan kepala baginda di atas pangkuan Aisyah. Saiditina Aisyah telah meminta kayu siwak dari abangnya (or adik lelaki?) serta mengunyah kayu siwak itu untuk melembutkannya lalu diberikan kepada Rasulullah. Walaupun sudah berkeadaan tenat, baginda menggosok gigi baginda dengan bersungguh-sungguh. Tidak lama kemudian, baginda jatuh pengsan dan tidak sedarkan diri dan Aisyah melihat itu adalah tanda-tanda ajal baginda telah sampai. Namun sejam kemudian, baginda kembali membuka mata.
Aisyahlah yang menyaksikan dan menyampaikan kisah saat-saat akhir sebelum kewafatan insan mulia ini, kekasih Allah moga dilimpahi rahmatNya.
Setelah baginda sedar kembali, Aisyah mengingati Izrail telah berkata kepadanya: ‘Tidak seorang Nabi itu diambil nyawanya melainkan dia telah ditunjukkan tempatnya di syurga serta diberikan pilihan samada untuk hidup atau mati,’
‘Baginda tidak akan memilih untuk bersama kita,’ kata Aisyah pada dirinya. Kemudian Aisyah terdengar baginda berkata, ‘Demi pertemuan agung di syurga, demi hamba-hambanya yang dilimpahi rahmatNya, para Nabi, para syuhada’ dan orang-orang yang beriman….’ Dan sekali lagi beliau terdengar baginda berkata ‘ya Tuhanku, demi pertemuan agung di syurga…’ Inilah kata-kata terakhir baginda yang didengar oleh Saidatina Aisyah r.a. Sedikit demi sedikit, kepala Rasulullah semakin berat di pangkuan Aisyah, sehinggalah sahabat-sahabat yang lain mula menitiskan air mata. Lalu Aisyah meletakkan kepala Rasulullah di atas bantal dan turut serta menangisi permergian baginda.
Di lantai rumah Aisyah, berhampiran tempat pembaringan Rasulullah ketika baginda sedang nazak, sebuah kubur digali dan di situlah bersemadi jasad penutup segala Nabi, di kala umatnya sedang dalam kegelisahan dan kesedihan yang mendalam.
Aisyah hidup selama hampir lima puluh tahun setelah kewafatan Rasulullah s.a.w. Sepuluh tahun hidup beliau sebagai isteri Rasululluah. Sebahagian besar waktu itu diluangkan dengan mempelajari dua sumber penting petunjuk Allah, iaitu al-Quran dan sunnah Rasulullah. Tiga orang daripada isteri-isteri Rasulullah yang menghafaz al-Quran, dan salah seorang daripadanya adalah Aisyah r.a.(di samping Ummu Salamah dan Hafsah). Seperti Hafsah, Aisyah juga mempunyai salinan al-Quran yang ditulis setelah kewafatan Rasulullah.
Berkenaan dengan hadith baginda Rasulullah, Aisyah merupakan salah seorang daripada empat orang sahabat (termasuk Abu Hurairah, Abdullah ibn Umar dan Anas Ibn Malik) yang meriwayatkan lebih dua ribu hadith. Kebanyakan hadith-hadith ini berkaitan amalan-amalan peribadi Rasulullah yang hanya mampu diketahui oleh Aisyah r.a. Satu aspek penting berkenaan hadith yang diriwayatkan Aisyah ialah hadith-hadith tersebut disampaikan dalam bentuk tulisan oleh, antara lainnya, anak saudara beliau, Urwah ibn az-Zubair yang merupakan salah seorang ulama’ terkenal di kalangan tabi’in.
Ramai di kalangan sahabat Rasulullah dan pengikut-pengikut mereka yang menimba dari ilmu pengetahuan Aisyah r.a. Abu Musa al’Ashari pernah berkata: ‘Sekiranya kami di kalangan sahabat Rasulullah menghadapi kemusykilan, maka akan kami bawa kepada Saidatina Aisyah r.a.’
Urwah ibn az-Zubair menegaskan bahawa Aisyah bukan sahaja arif dalam bidang fiqh, bahkan juga dalam bidang tibb(perubatan) dan syair. Ramai di kalangan sahabat baginda Rasulullah turut merujuk kepada Aisyah berkenaan masalah pewarisan harta yang memerlukan kemahiran tinggi dalam bidang matematik. Para ulama menganggap Saidatina Aisyah sebagai salah seorang ahli fuqaha Islam terawal di samping Umar Ibn al-Khattab, Ali dan Abdullah ibn Abbas. Kata baginda Rasulullah tentang dalamnya pengetahuan Aisyah dalam Islam; ‘Pelajarilah sebahagian daripada agamamu dari al-Humaira’,’Al-Humaira, atau ‘si merah’ adalah nama panggilan Rasulullah kepada Saidatina Aisyah r.a.
Saidatina Aisyah r.a. bukan sahaja memiliki ketinggian ilmu pengetahuan, bahkan turut memainkan peranan penting dalam proses pendidikan dan pembentukan masyarakat ketika itu. Sebagai seorang guru, beliau memiliki lisan yang jelas dan menarik hati serta kelancaran bertutur kata beliau digambarkan dengan begitu tinggi oleh al-Ahnaf: ‘Aku pernah mendengar ucapan dari Abu Bakar dan Umar, dari Uthman dan Ali serta para khulafa’ hingga ke hari ini, tetapi belum pernah aku mendengar ucapan yang lebih indah dan lebih menarik hati dari mulut seorang pun melainkan Aisyah r.a.’
Manusia dari segenap pelusuk tanah Arab telah pergi menemui Aisyah untuk mempelajari ilmu yang dimilikinya. Dikatakan lebih ramai bilangan wanita daripada lelaki yang datang untuk menimba ilmu daripada beliau. Di samping menjelaskan kemusykilan orang ramai, beliau turut mengambil anak-anak kecil, ada di kalangan mereka yatim piatu, untuk dibesarkan dan dilatih di bawah bimbingannya sendiri. Di samping itu juga terdapat saudara-saudara beliau yang mendapat bimbingan yang sama. Dengan demikian, rumah Saidatina Aisyah r.a. dijadikan sekolah dan sebuah institusi pengajian.
Ada di kalangan anak-anak didikan Aisyah yang cemerlang di bawah pimpinan beliau. Sudah disebut sebelum ini tentang anak saudara lelaki beliau iaitu Urwah ibn az-Zubair sebagai salah seorang perawi hadith terkemuka. Di antara pelajar wanita didikan Aisyah ialah Umrah binti Abdur Rahman. Umrah dianggap oleh para ulama’ sebagai seorang perawi hadith yang thiqah dan dikatakan bertindak sebagai setiausaha Aisyah r.a dalam menerima dan menjawab surat-surat yang diterima Aisyah. Peranan Aisyah dalam menggerakkan proses pendidikan terutamanya bagi kaum wanita seharusnya dijadikan contoh ikutan.
Selepas Khadijah al-Kubra (yang hebat) dan Fatimah az-Zahra (yang menawan), Aisyah as-Siddiqah (yang membenarkan) dianggap sebagai wanita terbaik dalam Islam. Dari keteguhan peribadinya, beliau menjadi seorang pakar dalam setiap bidang pengetahuan, dalam masyarakat, politik bahkan peperangan. Beliau sering menyesali penglibatannya dalam peperangan namun dibarkahi dengan umur yang panjang berpeluang membetulkan kedudukannya sebagai wanita paling dihormati sewaktu hayatnya. Beliau kembali ke rahmatullah dalam bulan Ramadhan pada tahun kelima puluh lapan selepas Hijrah. Atas arahan beliau sendiri, jasadnya disemadikan di Jannat al-Baqi di Madinah al-Munawwarah, di kalangan sahabat baginda Rasulullah s.a.w.